Evvy Kartini Penemu Penghantar Listrik Berbahan Gelas

Baterai , Setipis Kertas Berbahan Gelas
Baterai , Setipis Kertas Berbahan Gelas
Doktor rer. Nat. (rerum naturalium) Evvy Kartini (Bogor, 22 April 1965) adalah Fisikawan Indonesia yang ahli dalam teknologi tenaga nuklir dan salah satu dari sepuluh ahli sejenis yang ada di dunia. Ia dikenal sebagai ilmuwan penemu penghantar listrik berbahan gelas dengan teknik hamburan netron yang berdaya hantar sepuluh ribu kali lipat dari bahan sebelumnya.


Penemuan

Saat mendapat kesempatan belajar di Jerman, ia mulai menjajaki penelitian terhadap material gelas. Saat itu Evyy magang di Hahn Meitner Institute (HMI) di Berlin, Jerman, 1990. Evvy pun dibimbing ahli hamburan neutron Prof. Dr. Ferenc

Karier penelitiannya dimulai saat menyelesaikan S2-nya di Universitas Teknik Berlin. Ia berhasil menemukan model baru difusi dalam material gelas. Penemuan itu dipresentasikan pada Konferensi Internasional Hamburan Netron (ICNS) Jepang. Maka namanya mulai tercatat dalam jurnal penelitian internasional bergengsi seperti Physica B (1994). Sejak itu, tawaran presentasi dan konferensi mengalir deras.

Tahun 1996, melalui kolaborasinya dengan profesor dari Universitas Mc Master, Kanada, Evvy kembali menemukan hal baru: adanya puncak Boson pada saat energi rendah. Temuan itu dipresentasikannya pada 600 peserta konferensi hamburan netron Eropa I/ECNS di Interlaken, Swiss. Namanya kembali tercatat dalam jurnal internasional, Canadian Journal of Physics (1995), Physical Review B (1995), dan Physica B (1997).

Ia pun mulai berkolaborasi dengan profesor dari Organisasi Sains dan Teknologi Nuklir Australia (ANSTO). Profesor itulah yang membuka jalan untuk berkolaborasi dengan banyak profesor lain di negara maju.

Penelitian tentang bahan-bahan superionik berbahan gelas ia mulai tahun 1996, sepulang dari Jerman. Ia sempat frustrasi karena terbatasnya fasilitas, tetapi tetap tekun menyiapkan eksperimen, seperti difraksi Sinar X dan pengukuran suhu serta konduktivitasnya, untuk dikirim ke Chalk River Laboratory, Kanada.


Formula Gelas

Sudah sejak dulu para ilmuwan di dunia berlomba-lomba melakukan riset dan pengembangan solid state ionics. Namun, kata Evvy masalah utama riset solid state ionics ialah pencarian padatan superionik untuk elektrolit padat komponen baterai, yang memiliki konduktivitas tinggi pada suhu ruang. Untuk itu, Evvy melakukan penelitian dan pengembangan gelas superionik sebagai material baterai isi ulang.

Gelas merupakan materi yang memiliki struktur acak (disorder) yang dikenal manusia berabad-abad lalu, dan ditemukan di Mesir sekitar 300 SM. Adapun gelas superionik terbentuk dari tiga komponen, yaitu pembentuk gelas, pengubah gelas, dan garam dopan.

Gelas superionik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan elektrolit polikristal, termasuk tidak memiliki batas butir, mudah dibuat, memiliki suhu leleh rendah, dan konduktivitas ionik tinggi pada suhu ruang. Sejauh ini, Evvy telah memberikan kontribusi cukup besar dalam penelitian dan pengembangan gelas superionik (AgI)x(AgPO3)1-x lewat program Riset Unggulan Terpadu yang didanai Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Dia memanfaatkan material NH3H2- PO4 dan AgNO3 yang dipanaskan dalam furnace sampai meleleh pada suhu 400 derajat Celsius.

Lalu, formula tersebut didinginkan dengan cepat dalam lingkungan nitrogen cair, sehingga menghasilkan gelas bening dan transparan, yaitu AgPO3. “Jika ditambah AgI, produk gelas AgIAgPO3 berwarna kuning transparan,” kata Evvy. Tahap uji coba gelas supersonik tersebut di antaranya lewat karakterisasi material elektrolit dan elektroda yang dihasilkan serta uji coba dalam performan baterai.

Karakterisasi paling penting adalah menguji sifat listrik dari gelas yang dibuat. Contohnya AgPO3 dengan konduktivitas ionik ~10E-7 S/cm (Siemen per sentimeter). Jika ditambah AgI produk gelas AgI-AgPO3, konduktivitas meningkat sepuluh ribu kali menjadi ~10E-3 S/cm. Hal itu terjadi pada gelas konduktor ionik lainnya, seperti pada gelas lithium LiPO3 dan LiI-LiPO3, walau konduktivitasnya lebih rendah dari gelas berbasis perak.

“Fenomena kenaikan konduktivitas inilah yang menjadi perhatian para peneliti di dunia untuk mengaji terjadinya proses dinamika ion transport di dalam gelas superionik,” terang perempuan kelahiran Bogor, 22 April 1965, itu.


Penghargaan

Tahun 1998 ia menerima penghargaan Riset Unggulan Terpadu (RUT) VI dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi atas penelitiannya berjudul "Sintesa dan Karakterisasi Bahan-bahan Gelas Superionik (AgI)x(AgPO3)1-x". Tahun itu juga, ia menerima tawaran program postdoctoral di Kanada.

Sungguh kebetulan. Ia tidak perlu menyupervisi contoh yang akan dieksperimen di Kanada. Bersama Prof Dr MF Collins, ia mencoba memahami mekanisme konduksi dari bahan gelas bersifat superionik dan mengamati ketergantungan suhu bahan-bahan superionik.

Saat itu pula ia mulai berkolaborasi dengan para profesor peneliti netron dari Jepang dan Inggris, negara-negara terkemuka dalam penelitian netron. Kolaborasi menghasilkan fenomena dinamika ion dalam bahan-bahan gelas. Penemuan besar yang dicari para ilmuwan dari berbagai belahan dunia.

Sederet prestasi lainnya juga didapat saat Evvy berada di Jerman. Dan, yang paling berkesan adalah saat terpilih sebagai wanita Asia pertama yang mengikuti Program Hercules. Pada 1994, namanya mulai tercatat dalam jurnal penelitian internasional bergengsi seperti Physica B. Sejak itu, tawaran presentasi dan konferensi mengalir deras.

Akhirnya pada 1998-2000 namanya tercatat di sepuluh jurnal bergengsi sebagai peneliti utama. Dalam tempo dua tahun, 1998-2000, namanya tercatat di sepuluh jurnal bergengsi sebagai peneliti utama. Selain tercatat di jurnal Physica B, Evvy juga menulis buku Solid State Ionics (2001) bersama profesor dari Jepang.

Hasil riset yang dilakukan oleh Evvy sudah mendapat tanggapan dari para pelaku industri di dalam negeri. Kolega-koleganya di dunia internasional juga telah mengirimkan surat kesediaan untuk mengucurkan dana puluhan ribu dolar Amerika Serikat guna penelitian penerima Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Megawati Sukarnoputri--presiden saat itu. Ia pun mulai berkolaborasi dengan profesor dari Organisasi Sains dan Teknologi Nuklir Australia (ANSTO).


Pendidikan:
  • Sarjana Fisika lulusan Institut Teknologi Bandung
  • Hahn Meitner Institute (HMI) di Berlin, Jerman, 1990.
  • lulusan Postdoctoral dari Departemen Fisika dan Astronomi Universitas McMaster, Hamilton, Kanada

Sumber: