Perintis atau Pencipta Seni Bela Diri Tarung Derajat - Achmad Dradjat
Achmad Dradjat adalah seorang perintis atau pencipta seni bela diri Tarung Derajat asal Kota Bandung - Jawa Barat.
Biografi
Achmad Dradjat lahir di Garut, pada 18 Juli 1951 dari pasangan H.Adang Latif dan Hj.Mintarsih. Ia dilahirkan di saat terjadi penyerangan pemberontak Negara Islam Indonesia. Dalam penyerangan tersebut kedua orang tuanya ikut sebagai aktivis pejuang Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang setelah pasca kemerdekaan menjadi anggota Polisi Istimewa yang menjadi salah satu sasaran operasi dari penyerangan Gerombolan tersebut. Di tengah kejaran para pemberontak, ia selamat. Peristiwa tersebut mengilhami kedua orangtuanya memberikan nama Dradjat yang berarti berkat yang mendatangkan kebaikan pada kehidupan manusia.
Pada usia balita, kedua orangtuanya pindah tugas dan tinggal di Tegallega yang keras dan berpenduduk heterogen dengan segala perilaku hidupnya yang dinamis. Situasi dan kondisi seperti itu sangat ditunjang dengan keberadaan sebuah lapangan yang sangat luas yang beraktivitas hampir 24 jam. Berbagai macam bentuk kegiatan hidup terjadi di lapangan tersebut, seperti berbagai kegiatan olahraga, tawuran antar geng remaja, pemerasan, perampokan, perjud!an, pel4curan, dan aktivitas kriminalitas dan kemaksiatannya. Tidak jarang masyarakat setempat yang berperilaku hidup baik-baik menjadi korban tindak kekerasan, kejadian tindak kekerasan tersebut sering juga dialaminya saat remaja.
Ia mempunyai postur tubuh lebih kecil dibandingkan dengan sesama anak lainnya. Ia sangat menggemari olahraga keras, seperti sepak bola dan beladiri. Selain itu, ia berkarakter berani dan ulet. Dalam lingkungan yang keras, sifat pemberani dan keinginan menolong teman yang dimilikinya, seringkali membuatnya mengalami berbagai tindak kekerasan, perkelahian demi perkelahian harus ia lalui walau lebih sering kalah daripada menang.
Pada usia 13 tahun, tindak kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok remaja nyaris merenggut jiwanya. Peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan yang dialaminya itu terjadi di tengah keramaian orang-orang yang hanya bisa menjadi penonton. Kejadian serupa dialaminya pada saat latihan bela diri secara resmi sebagai anggota suatu perkumpulan bela diri. Dalam peristiwa tersebut dirinya dipaksa untuk berkelahi menggunakan teknik yang berlaku di bela diri itu sendiri melawan anggota senior yang bertubuh jauh lebih besar. Ia yang baru belajar dasar-dasar teknik perkelahian tidak mampu berbuat banyak selain bertahan diri. Seluruh badannya penuh dengan luka memar, namun tidak ada pikiran dan niat dari penonton termasuk guru besarnya untuk bertindak, menghentikan, dan menyelamatkan perkelahian. Dalam kesendiriannya, ia kembali harus berjuang untuk mempertahankan keselamatan dan kesehatan hidupnya.
Dari perkelahian demi perkelahian itulah, ia secara alami ditempa dan terlatih untuk menjawab tantangan hidup yang keras dan dari kerasnya kehidupan yang dialaminya, sifat fisik dan sikap mentalnya terbina dan terbiasa untuk menerima kenyataan hidup secara realitas dan rasional. Kemampuan itu dimiliki karena setiap makhluk hidup telah dibekali kemampuan gerak refleks untuk bertahan hidup. Pikiran, rasa, dan keyakinan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalunya yang teringat sepanjang usia, baik kejadian itu berupa musibah maupun anugerah, pengalaman tersebut adalah bagian dari proses pembelajaran dan pelatihan otot, otak, dan naluri untuk menentukan arah hidup yang lebih baik menuju kehidupan yang benar dan selaras dengan kodratnya. Bersamaan dengan itulah, proses penciptaan gerak dan jurus dibentuk dan diuji dari perkelahian. Proses ini disempurnakan melalui suatu penempaan diri, baik secara fisik maupun mental dengan cara yang tersendiri dan mandiri. Gerakan tubuh yang kemudian menjadi jurus yang seluruhnya didasari gerak refleks yang alamiah.
Dari penempaan praktis ini, gerakan tubuh yang tercipta manjadi sangat efektif bagi suatu pembelaan diri. Gerakan dan jurus serta metode latihan didasari kemampuan alamiah. Semua ini sebenarnya dimiliki semua manusia sebagai fitrah dan bisa dikembangkan secara mandiri, inilah yang mendasari lahirnya sebuah prinsip hidup Tarung Derajat.
Sejak remaja, ia telah menunjukkan kemampuan dan keunggulan dalam menghadapi berbagai tindak kekerasan dan perkelahian. Achmad Dradjat juga menularkan kemampuan beladirinya kepada rekan-rekan dekat dan masyarakat lain yang membutuhkannya. Mereka sebagian besar memintanya untuk menjadi guru. Akhirnya, pada tanggal 18 Juli 1972 diikrarkan pendirian Perguruan Tarung Derajat yang menjadi hari jadi Tarung Derajat.
Biografi
Achmad Dradjat lahir di Garut, pada 18 Juli 1951 dari pasangan H.Adang Latif dan Hj.Mintarsih. Ia dilahirkan di saat terjadi penyerangan pemberontak Negara Islam Indonesia. Dalam penyerangan tersebut kedua orang tuanya ikut sebagai aktivis pejuang Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang setelah pasca kemerdekaan menjadi anggota Polisi Istimewa yang menjadi salah satu sasaran operasi dari penyerangan Gerombolan tersebut. Di tengah kejaran para pemberontak, ia selamat. Peristiwa tersebut mengilhami kedua orangtuanya memberikan nama Dradjat yang berarti berkat yang mendatangkan kebaikan pada kehidupan manusia.
Pada usia balita, kedua orangtuanya pindah tugas dan tinggal di Tegallega yang keras dan berpenduduk heterogen dengan segala perilaku hidupnya yang dinamis. Situasi dan kondisi seperti itu sangat ditunjang dengan keberadaan sebuah lapangan yang sangat luas yang beraktivitas hampir 24 jam. Berbagai macam bentuk kegiatan hidup terjadi di lapangan tersebut, seperti berbagai kegiatan olahraga, tawuran antar geng remaja, pemerasan, perampokan, perjud!an, pel4curan, dan aktivitas kriminalitas dan kemaksiatannya. Tidak jarang masyarakat setempat yang berperilaku hidup baik-baik menjadi korban tindak kekerasan, kejadian tindak kekerasan tersebut sering juga dialaminya saat remaja.
Ia mempunyai postur tubuh lebih kecil dibandingkan dengan sesama anak lainnya. Ia sangat menggemari olahraga keras, seperti sepak bola dan beladiri. Selain itu, ia berkarakter berani dan ulet. Dalam lingkungan yang keras, sifat pemberani dan keinginan menolong teman yang dimilikinya, seringkali membuatnya mengalami berbagai tindak kekerasan, perkelahian demi perkelahian harus ia lalui walau lebih sering kalah daripada menang.
Pada usia 13 tahun, tindak kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok remaja nyaris merenggut jiwanya. Peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan yang dialaminya itu terjadi di tengah keramaian orang-orang yang hanya bisa menjadi penonton. Kejadian serupa dialaminya pada saat latihan bela diri secara resmi sebagai anggota suatu perkumpulan bela diri. Dalam peristiwa tersebut dirinya dipaksa untuk berkelahi menggunakan teknik yang berlaku di bela diri itu sendiri melawan anggota senior yang bertubuh jauh lebih besar. Ia yang baru belajar dasar-dasar teknik perkelahian tidak mampu berbuat banyak selain bertahan diri. Seluruh badannya penuh dengan luka memar, namun tidak ada pikiran dan niat dari penonton termasuk guru besarnya untuk bertindak, menghentikan, dan menyelamatkan perkelahian. Dalam kesendiriannya, ia kembali harus berjuang untuk mempertahankan keselamatan dan kesehatan hidupnya.
Dari perkelahian demi perkelahian itulah, ia secara alami ditempa dan terlatih untuk menjawab tantangan hidup yang keras dan dari kerasnya kehidupan yang dialaminya, sifat fisik dan sikap mentalnya terbina dan terbiasa untuk menerima kenyataan hidup secara realitas dan rasional. Kemampuan itu dimiliki karena setiap makhluk hidup telah dibekali kemampuan gerak refleks untuk bertahan hidup. Pikiran, rasa, dan keyakinan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalunya yang teringat sepanjang usia, baik kejadian itu berupa musibah maupun anugerah, pengalaman tersebut adalah bagian dari proses pembelajaran dan pelatihan otot, otak, dan naluri untuk menentukan arah hidup yang lebih baik menuju kehidupan yang benar dan selaras dengan kodratnya. Bersamaan dengan itulah, proses penciptaan gerak dan jurus dibentuk dan diuji dari perkelahian. Proses ini disempurnakan melalui suatu penempaan diri, baik secara fisik maupun mental dengan cara yang tersendiri dan mandiri. Gerakan tubuh yang kemudian menjadi jurus yang seluruhnya didasari gerak refleks yang alamiah.
Dari penempaan praktis ini, gerakan tubuh yang tercipta manjadi sangat efektif bagi suatu pembelaan diri. Gerakan dan jurus serta metode latihan didasari kemampuan alamiah. Semua ini sebenarnya dimiliki semua manusia sebagai fitrah dan bisa dikembangkan secara mandiri, inilah yang mendasari lahirnya sebuah prinsip hidup Tarung Derajat.
Sejak remaja, ia telah menunjukkan kemampuan dan keunggulan dalam menghadapi berbagai tindak kekerasan dan perkelahian. Achmad Dradjat juga menularkan kemampuan beladirinya kepada rekan-rekan dekat dan masyarakat lain yang membutuhkannya. Mereka sebagian besar memintanya untuk menjadi guru. Akhirnya, pada tanggal 18 Juli 1972 diikrarkan pendirian Perguruan Tarung Derajat yang menjadi hari jadi Tarung Derajat.